Kamis, 10 Juli 2014

PERNiKAHAN DAN PEREMPUAN

Salah satu masalah (utama) banyak orang adalah masalah asmara atau percintaan atau hubungan dengan seseorang yang spesial. Terutama bagi perempuan. Yah, karena saya perempuan, saya nggak tahu sih, gimana dengan para pria. Mungkin nanti para pria bisa memberikan opini yang berbeda.

Kadang kita, para perempuan, terlalu bersemangat dengan urusan cinta. Mungkin sebagian besar dari kita sejak kecil sudah memiliki kriteria pria idaman dan merencanakan pernikahan ala kisah cinta di film animasi Disney. Atau mungkin pada saat kuliah atau awal bekerja kita merasakan tekanan terus menerus (baik secara sosial sosial maupun diri sendiri) untuk bisa menemukan ‘the right one’ yang bisa menjadi calon suami potensial, dan kalau bisa menikah sesegera mungkin…

…yang sayangnya banyak yang nggak kesampaian. Hehehe.

Mungkin ini ada hubungannya dengan stigma bahwa perempuan itu kalau bisa cepat nikah, jangan jadi single terlalu lama, apa kabar ovarium kita kalau kelamaan belum menikah—dan sederet hal lain yang kebanyakan dari orang tua kita terus-menerus ingatkan.

Dan bisa jadi hal tersebut kayaknya udah tertanam dalam-dalam di alam bawah sadar kita, sampai-sampai kalau misalnya kita baru bertemu dengan seorang pria selama lima menit, kita secara otomatis berpikir kayak apa ya kalau dia jadi suami kita. Ya kan? Ya kaann? Nggak apa-apa juga sih, menurut saya itu manusiawi. Walaupun saya bilang itu manusiawi, belum tentu hal tersebut benar untuk dilakukan :D

Iya sih, mencari calon suami potensial itu penting, tapi kan bukan artinya kita harus memperlakukan setiap cowok yang kita temui atau baru kita kenal seakan-akan dia adalah ‘the one’. Bukan apa-apa, hal ini biasanya hanya akan berujung pada kekecewaan di sisi kita sendiri. Karena selain bahwa ini bisa membuat kita dan si pria tersebut tertekan, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan terburu-buru hanya karena mengejar target. Marriage is not a race.

Kalau memang jalannya, seharusnya sih kita hanya akan menemukan satu orang sebagai ‘the right one’ yang menjadi suami kita. Dan tebak ada berapa jumlah pria di dunia ini? Yes, milyaran. Jadi, karena hanya akan ada satu orang di antara sekian milyar, artinya nggak semua orang yang kita temui akan menjadi kandidat potensial menjadi calon suami, kan? Masalahnya, sering kali saya menemukan teman perempuan yang terburu-buru menetapkan akan menjalin hubungan dengan seorang pria bukan karena dia merasa sayang, atau cinta, atau mengalami heart-stopping romance—tapi lebih karena dia mencari kenyamanan dan rasa ingin dicintai sehingga menurunkan ekspektasi. Saya sih, sejujurnya, terserah aja. Tapi apa iya nggak mau tahu rasanya memiliki hubungan yang tiap kali kita bersama si dia, rasanya ada ‘kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut’? Jangan hanya karena nggak ingin sendiri, kita menyerah mencari romantic love dan menerima lebih sedikit dari yang seharusnya kita dapatkan.

Ketika kita sudah memiliki pasangan pun, seringnya kita nggak sabar untuk menanyakan, ‘kapan kita nikah?’ Padahal pasangan kita pun mungkin udah sebal banget ditanyain hal yang sama oleh keluarga dan kerabatnya. Saya sih berpikir bahwa yang namanya hubungan, seperti juga hidup, bukanlah tentang destinasi—tapi lebih kepada perjalanannya. Saat kita berpikir bahwa si dia adalah the right one, calon suami idaman, dan label lain yang membuat kita yakin bahwa dia adalah orang yang kita inginkan untuk menemani sisa hidup kita, pada saat itulah biasanya kita ‘mempercepat’ hubungan tersebut. Ya itu, dengan nanyain kapan nikah. Walaupun mungkin pertanyaannya nggak seeksplisit itu ya, hehe… Padahal menjalani suatu hubungan adalah sesuatu yang harus dinikmati, karena ini adalah perjalanan yang indah dalam hidup kita.

Lagi pula, kebanyakan pria biasanya nggak ingin cepat-cepat nikah. Mereka masih ingin mengejar karir, melanjutkan sekolah, mencari uang—dan hal-hal lain yang saya yakin kita semua sudah tahu. Kalau menemukan yang ingin berkomitmen cepat, lucky you. Mendorong mereka untuk cepat-cepat menikah dengan kita, bisa menjadi bumerang. Saya yakin, kalau mereka memang menganggap bahwa kita ‘the one’ untuk mereka, nggak perlu dipaksa-paksa, akan nanya sendiri kok. Intinya sih, semua akan siap pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar